Key Points on the Newly Legitimate Sexual Violence Crime Law by DPR
The House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat or “DPR”) of Indonesia has passed Law No. 12 of 2022 concerning the Sexual Violence Crime Law in the DPR Plenary Meeting on 12 April 2022 (“Sexual Violence Crime Law – UU TPKS”). The Sexual Violence Crime Law was initiated 10 (ten) years ago in 2012 and was originally called the Sexual Violence Prevention Bill (Penghapusan Kekerasan Seksual). Since then, the law has gone through long discussions in DPR until DPR legitimized it as the Sexual Violence Crime Law.
As the Sexual Violence Crime Law includes sanctions on corporations, this may be the start of the movement of including clauses in transaction deals to take into account the risk of any pending or potential sexual crime allegations made against a corporation. The representations and warranties regarding no sexual harassment allegations against any employees and management of the target company may become Merger and Acquisitions (M&A) standard market clause to comply with the Sexual Violence Crime Law and protect the investor or seller from any potential financial and reputational liabilities caused by such allegations.
This ARMA Update will discuss the critical points of the Sexual Violence Crime Law, including the purpose, forms, procedural law, the victim’s rights, and the criminal sanctions. We also discuss how the Sexual Violence Crime Law may affect corporate practices and the impact of th approach in drafting certain agreements, including in merger and acquisitions documents.
Please see our Update regarding this regulation here.
Poin-Poin Penting UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Baru Sah oleh DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 April 2022 (“UU TPKS”). UU TPKS digagas 10 (sepuluh) tahun yang lalu pada tahun 2012 dan pada awalnya bernama Rancangan Undang-Undang U Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sejak itu, undang-undang ini telah melalui pembahasan panjang di DPR hingga disahkan oleh DPR sebagai UU TPKS.
Karena UU TPKS memuat sanksi terhadap korporasi, ini mungkin akan menjadi awal dari gerakan penambahan klausul-klausul dalam perjanjian transaksi untuk memperhitungkan risiko tuduhan kekerasan seksual yang tertunda atau potensial yang dilakukan terhadap korporasi.
Pernyataan dan jaminan mengenai tidak adanya tuduhan kekerasan seksual terhadap karyawan dan manajemen perusahaan target dapat menjadi klausul standar dalam transaksi Merger dan Akuisisi (M&A) untuk mematuhi UU PTKS dan melindungi investor atau penjual dari potensi kewajiban finansial dan reputasi yang disebabkan oleh tuduhan tersebut.
Update ARMA ini akan membahas poin-poin penting UU TPKS, meliputi tujuan, bentuk,hukum acara, hak korban, dan sanksi pidana. Kami juga membahas bagaimana UU TPKS dapat mempengaruhi praktik perusahaan dan dampak pendekatan tersebut dalam merancang perjanjian tertentu, termasuk dalam dokumen merger dan akuisisi.
Mohon untuk melihat Update kami atas peraturan ini dalam Bahasa Inggris (di sini).
Disclaimer:
This client update is the property of ARMA Law and intended for providing general information and should not be treated as legal advice, nor shall it be relied upon by any party for any circumstance. ARMA Law has no intention to provide a specific legal advice with regard to this client update.
Authors
Related Updates
Latest Updates